Senin, 18 Juli 2011

Dunia dan Waktu Telah Menang Mengaburkanmu

Suara kokok ayam begitu mengagetkan pagi itu. Berlomba menyuarakan merdu-merdu suaranya. Kau tak dapat menghindar, mereka semua sudah di depan pintu menunggu, sampai benar-benar pintu itu kau buka. Membiarkan udara pagi merasuki relung-relung tempat peraduanmu, menggantikan sisa-sisa semalam yang mungkin telah buyar karena berganti dengan hari yang lain. Sarung itu terlihat berlipat-lipat setelah semalam kau gunakan untuk berselimut, mencegah sang malam membunuhmu secara perlahan. Aromanya masih sama seperti hari-hari kemarin, tapi tak lagi dengan bentuknya.

Tiga tahun yang lalu itu kau masih biasa. Ceria kesana-kemari dan semua orang masih merestuimu. Kini, kau masih tetap ceria, persis sama dengan beberapa tahun yang lalu. Mungkin bedanya kini kau sudah tak sekurus dan sepolos dulu. Lekukan-lekukan di pipimu kini sudah tak terlihat lagi. Jari-jemarimu sudah terlihat gendut dan tak serapi dulu. Sepertinya memang dunia dan waktu telah menang pagi itu. Mampu menggoyahkan segala keyakinanmu yang telah terpaku di lubuk hati. Atau mungkin kau memang sudah melupakan akan apa arti hati?

Sisa-sisa roti masih terlihat di atas meja kamarmu. Baunya begitu merebak ke seluruh penjuru. Membuyarkan lamunanmu yang seolah menghiasi wajah tanpa gerak. Terlihat cokelat berjatuhan di lantai, mengundang semut-semut yang memang masih seperti kodratnya. Tetap menikmati segala sesuatu yang manis. Tapi kini, kau sangat berbeda dengan semut itu. Kau telah begitu membelok dari apa yang kau dekap dulu. Kau lacurkan segala milikmu saat ini. Memang, dunia waktu telah menang mengaburkanmu.

Sincerely,

Miko

Selasa, 12 Juli 2011

Hanyalah Sebuah Lorong Waktu


Dentingan jam itu terdengar begitu jelas. Suara-suara nyamuk juga begitu gaduh, seperti bayi yang merengek-rengek. Semuanya sama seperti dua tahun yang lalu. Hanya saja, orang-orang yang berada di sampingku kini berbeda. Sisa-sisa ingatanku itu begitu jelas, seperti embun yang mulai turun malam ini. Menetes di dedaunan, yang mencoba bertahan sampai esok.

Sebotol air putih masih tergeletak di lantai. Tak seorang pun menyentuhnya. Hanya tadi sore saja botol itu di sentuh. Malam ini sudah tak lagi. Orang-orang sibuk dengan tangan masing-masing. Tangan yang memang tak akan berhenti malam ini. Namun, entahlah jika esok pagi …

Cahaya rembulan mulai berpendar malam itu. Menelisik di sela-sela dedaunan. Buaian angin malam pun saling berebut, entah bergurau, entah bertengkar. Namun, semuanya begitu natural. Yang mungkin berbeda dengan naturalnya negeri ini, yang sering dibuat-buat dan dipadu padankan.

Kini aku seperti sendiri. Bagai lorong waktu yang entah kapan ujungnya, aku pun tak tahu. Sedetik, semenit, sejam waktu itu tetap berjalan dan berulang tiap harinya. Mungkin inilah yang dinamakan proses. Proses yang masih tersisa dalam hidupku. Aku tetap menjalaninya, menghargainya, dan menerimanya seperti didikan zaman sampai lorong waktu ini benar-benar menemui ujungnya. Entah kapan … aku akan bersabar …

Sincerely,

Mico