Rabu, 07 Desember 2011

Seperti Berhenti di Lampu Merah


Mungkin saat ini kalian sudah berada di kehidupan kalian masing-masing, memeluk setiap kehangatan yang kalian damba selama ini, berlari keras untuk memeluk mimpi-mimpi besar kalian, bersama angan dan harapan untuk membuatnya menjadi sebuah kenyataan. Saya yakin, masalah baru akan tetap muncul meski kita telah selesai dari masalah lama. Mungkin lebih tepat jika kita tak menganggapnya sebagai sebuah masalah, tapi pembelajaran yang memang harus memunculkan masalah. Karena tanpa masalah, kita tak akan belajar. Begitu pun without conflict, no story.

Sungguh, hari ini saya masih mendambakan masa-masa seperti kemarin, rasanya kangen. Kangen semuanya. Kangen setiap awal minggu banyak masuk kelas karena kosong, piket yang menjadikan ngantuk karena sepoi-sepoi, dan masih banyak kenangan-kenangan yang terukir. Sejujurnya, sebagai keluarga baru ingin terus bersama. Bersama orang-orang baru dengan berbagai background yang berbeda. Tapi memang itu sudah tak mungkin lagi kecuali di tempat lain yang mungkin dengan situasi berbeda. Sepertinya ungkapan ini benar Jika dekat kita bertengkar, tapi ketika jauh kita saling kangen. Aku pun tak mengingkari saat melewati perjuangan itu terkadang aku jenuh, bosan, suntuk, dan kadang jengkel juga sama kalian. Namun, ketika aku jengkel, untuk penenangan diri sering aku berpikir bahwa aku juga tidak yakin bahwa orang yang mengejekku bisa lebih baik dariku. Ini bukan berarti aku merendahkannya, tapi itu hanya penenangan diriku saja sehingga aku mampu bertahan selama hidupku ini. Karena kita memang punya jalan hidup yang berbeda. No body’s perfect.

Hari ini aku merasakan seperti hidup di suatu tempat yang asing, yang belum pernah aku injak sebelumnya. Memang, ini bukanlah pertama kalinya, tapi inilah kebersamaan yang paling lama, tiga bulan. Mungkinkah kalian merasakan hal yang sama? Biasanya terik mentari pagi mengabarkan bahwa aku harus segera bersiap, segera meluncur, dan segera tiba. Namun, kali ini tidak. Ketika aku bangun pukul dua dini hari, aku sudah tidak khawatir terlambat lagi. Di satu sisi aku bahagia, tapi di sisi lain aku telah kehilangan momen yang memang tidak akan terulang lagi. Secuil dari serpihan perjalanan hidupku telah kulalui bersama kalian selama ini. Ini akan menjadi sebuah kenangan tersendiri yang memberi warna dalam hidupku dan mungkin juga hidup kalian.

Sebenarnya, hari ini masih seperti hari-hari sebelumnya ketika kita bersama, Senin-Sabtu. Tapi, seperti ada sesuatu yang telah hilang di hari-hari itu. Rasanya, kita seperti sedang berhenti di lampu merah. Berhenti sebentar saat lampu merah menyala dan jalan lagi setelah lampu berwarna hijau. Di perempatan jalan itu terukir berbagai cerita suka duka kita.

Saat ini aku mulai sulit untuk memahami arti kata bahagia. Seketika aku bisa tertawa lepas, seperti hujan yang selalu turun di sore hari bulan ini, tapi di saat yang sama, seperti menahan suara tangis yang terhenti, seperti nyanyian di kejauhan yang tak terdengar jelas. Andaikan aku bisa menyederhanakan itu, seperti mudahnya membangkitkan telapak tangan. Tapi aku tak bisa, kita semua masih punya jalan yang panjang kawan, impian-impian yang telah kita idamkan. Mari kita menyusuri setiap lekuk lorong gelap ini kawan, hingga kita menemukan cahaya cerah di ujung lorong.

Terima kasih untuk semua yang telah mau menjadi kawanku selama ini (mudah-mudahan). Miss you all: Rino, Toni, Basuki, Cycas, Ganang, Aris, Taufiq, Rofa, Luqman, Rudias, Anggalia, Sari, Manda, Suci, Aini, Putri, Titis, Hayuk, Fitri, Riska, Winda, Yulia. Hope we will meet again in different time.


Sincerely,

Miko